Sekitar tahun 1950, sosok Didin D. Basoeni adalah anak yang senang menggambar. Saat itu dia masih duduk di bangku SMP. Seusai sekolah, biasanya ia lalangiran di teras rumah dan menggambarkan apa yang terbesit di pikirannya. Ditemani angin yang menyapa rambutnya, sesekali ia memegangi dagunya sambil melamun apa yang akan dilukisnya.
Kebiasaan itu terus dilakukannya hingga memasuki usia SMA. Saat itulah, sekitar tahun 1960 Didin mendengar kabar bahwa HU Pikiran Rakyat mengadakan lomba menggambar sketsa menyambut HUT RI . Tentu saja Didin merasa terpanggil. Berbekal darah seni yang ia asah semenjak kecil, ia mengikuti lomba itu.
Setelah mendaftar, kemudian ia pulang dan beberapa saat Didin melamun. Akhirnya, Didin memutuskan untuk melukiskan situasi masyarakat sedang membuat gapura (pintu gerbang) dengan berbagai hiasan. Ia kirimkan gambar itu. Ternyata, gambar itu dimuat di Lembaran Minggu dalam rubrik remaja “Kuntum Mekar”.
Ia melonjak kegirangan, kesenangannya menggambar akhirnya bisa dinikmati orang banyak. Didin pun semakin tekun menggambar.
Suatu hari, Didin membuat sketsa situasi pesisir atau pantai. Ia menggambar dengan semangat hingga sketsa itu rampung dengan cepat. Kemudian, dengan penuh harapan ia kirimkan sketsa itu ke “PR”. Tapi, sketsa pantainya tak kunjung dimuat. Didin tak putus asa, Ia ulangi sketsa pantai itu, ia kirimkan lagi. Ironisnya, sketsa itu pun tak kunjung dimuat. Didin pun mengulanginya hingga sketsa pantai ke-60. Sketsa ke-60 itulah yang akhirnya berhasil dimuat di “PR”.
Didin terus berkreasi, gambar yang ia buat di “PR” Lembaran Minggu itu tidak hanya gambar sketsa. Didin mencoba gambar cerpen dan gambar ilustrasi cerita bersambung yang muncul setiap hari di halaman terakhir “PR”.
Dari honor menggambar itulah, biaya SMA Didin dapat terpenuhi. Setelah lulus SMA, Didin duduk di bangku kuliah di ITB. Itupun dari honor menggambar. Hingga pada tahun 1969 ia keluar dari ITB karena kesulitan membayar biaya kuliah.
Beban ekonomi tak menyurutkan semangat Didin menggambar. Di balik keterpurukannya, Didin memperluas media tempat menyalurkan gambarnya. Ia mencoba di berbagai surat kabar dan majalah nasional. Berkat ketekunan dan kerja keras, gambarnya terpampang di beberapa media diantaranya, “Merdeka”, “Duta Masyarakat”, “Pemuda”, “Gelora Indonesia”, “Varia”, “Selecta”, “Karya”, “Berdikari”, “Kujang”, “Mandala”, “Gondewa”, “Galura”, “Mangle”, “Langensari”, “Campaka”, “Kancil” (majalah anak-anak), “Sunda”, “Harapan” (Koran Kodam VI Siliwangi) dll.
Perkenalan Didin dengan surat kabar dan majalah itulah yang membawanya ke dunia Jurnalistik. Didin menjadi wartawan ”PR” semenjak tahun 1973.
Selama menjadi wartawan, Didin tak meninggalkan hobi menggambarnya. Kemampuan menggambar itu pula yang menjadi awal perkenalannya dengan mang ohle, maskot “PR”.
Begini kisahnya, gambar karikatur “Mang Ohle” sudah muncul di “PR” sejak tahun 1955. Ada beberapa kartunis “Mang Ohle”, yaitu Teddy M. D. (1957-1964), Soewardi Nataatmadja (1964-1982), T. Sutanto (1982-1984).
Pada tahun 1984 ada kebijakan dari salah seorang pimpinan “PR” untuk mengganti kartunis “Mang Ohle”. Caranya, dengan membuka kesempatan kepada sejumlah tukang gambar. Namun, hasil seleksi itu tidak ada yang diterima. Akhirnya karena terdesak waktu terbit, Didin yang saat itu bekerja sebagai wartawan diminta untuk menggambar “Mang Ohle”. Teks gambar “Mang Ohle” dibuat oleh Bram M.D., Redaktur Pelaksana “PR” sedangkan gambarnya oleh Didin.
Melihat bakat Didin, gambar karikatur “Mang Ohle” sejak saat itu dipercayakan kepada Didin. Tidak hanya gambar, penulisan teks pun dikerjakan Didin.
24 tahun Didin menggambar Mang Ohle sampai menembus babak Reformasi. Artikulasi Didin yang mendominasi citra Mang Ohle kini. Didin mengubah dari yang naturalis menjadi garis. Ia menggambar Mang ohle berkarakter lugu tetapi cerdas, seperti tokoh fiktif Sunda yang sangat merakyat, yakni Kabayan. Sedangkan sifat karikaturnya kritis, menyindir, tetapi tidak membuat orang marah.
Didin berprinsip, “Herang caina beunang laukna” , yang berarti “jernih airnya dapat ikannya”. Maksudnya, membuat kritik yang menghindari konflik.
Dengan sentuhan itu, Mang Ohle karya Didin ini termuat dalam seri prangko Indonesian Cartoon Characters. Karya Didin dimuat bersama tokoh-tokoh kartun lainnya, yaitu Panji Koming (Harian Kompas), Pak Tuntung (Harian Analisa Medan), Pak Bei dan I Brewok dari Bali, pada tanggal 13 Maret tahun 2000.
Perjalanan hidup Didin berhasil mempertemukan antara hobi, pekerjaan, dan prestasi. Piramida itulah yang membuat Didin berkesimpulan, “Pada dasarnya media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar